Artikel Terkini

Perkawinan Sebagai Pendorong Atau Penghalang Dalam Kehidupan Keagamaan

Thursday, April 25, 2013

Perkawinan memainkan peranan yang besar dalam kehidupan manusia, sehingga ia perlu diperhitungkan dalam membahas soal kehidupan keagamaan dan dibicarakan dalam dua aspeknya, iaitu keuntungan dan kerugiannya.

Mengetahui bahawa Allah, sebagaimana kata al-Qur’an, “Hanya menciptakan manusia dan jin untuk beribadah,” maka keuntungan yang pertama dan nyata dalam perkawinan adalah bahwa para penyembah Allah menjadi semakin banyak jumlahnya. Oleh kerana itu, para ahli ilmu kalam telah menyusun seuntai pepatah: lebih baik menyibukkan diri dalam tugas-tugas perkawinan daripada dalam ibadah-ibadah sunnah. Keuntungan lain daripada perkawinan adalah sebagaimana disabdakan oleh Nabi: “Doa anak-anak bermanfaat bagi orang tuanya jika orang tuanya itu telah meninggal, dan anak-anak yang meninggal sebelum orang tuanya akan memintakan ampun bagi mereka di Hari Pengadilan.”

Sabda Nabi pula: “Ketika seorang anak diperintahkan untuk masuk surga, dia menangis dan berkata, “Saya tak akan memasukinya tanpa ayah dan ibu saya.” Juga, suatu hari Nabi dengan keras menarik lengan baki seseorang ke arah dirinya sambil bersabda, “Demikianlah anak-anak akan menarik orang tuanya ke surga.” Beliau menambahkan, “Anak-anak berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang surga dan menjerit memanggil ayah dan ibunya, hingga keduanya yang masih berada di luar diperintahkan untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka.”

Diriwayatkan dari seorang Wali yang termasyhur bahwa suatu kali ia bermimpi bahwa Hari Pengadilan telah tiba. Matahari telah mendekat ke bumi dan orang-orang mati karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberi mereka air dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang Wali meminta air, ia ditolak, dan salah seorang anak itu berkata kepadanya, “Tidak salah seorang pun di antara kami ini anak-anak anda.” Segera setelah sang Wali bangun ia bercadang untuk kawin.

Keuntungan lain dari perkawinan adalah bahawa duduk bersama dan bersikap baik terhadap isteri adalah suatu perbuatan yang memberikan rasa santai kepada pikiran setelah asyik mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Dan setelah santai seperti itu seseorang boleh kembali beribadah dengan semangat baru. Demikianlah Nabi saw. sendiri, ketika merasakan beban turunnya wahyu menekan terlalu berat atasnya, ia menyentuh isterinya Aisyah dan berkata: “Berbicaralah padaku wahai ‘Aisyah, berbicaralah padaku!” Dilakukannya hal ini kerana dari sentuhan kemanusiaan yang hangat itu bisa mendapatkan kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang sama ia biasa meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan kadang-kadang ia juga membaui wangian yang harum. Salah satu haditsnya yang terkenal adalah: “Saya mencintai tiga hal di dunia ini: wewangian, wanita dan penyegaran kembali dengan solat.” Suatu kali Umar bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang paling penting untuk dicari di dunia ini. Beliau saw. menjawab: “Lidah yang selalu berzikir kepada Allah, hati yang penuh rasa syukur dan isteri yang amanat.”

Keuntungan lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara rumah, memasak makanan, mencuci piring, menyapu lantai dan sebagainya. Jika seorang laki-laki sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa mencari ilmu, menjalankan perdagangannya atau melakukan ibadah-ibadahnya dengan sepatutnya. Untuk alasan ini Abu Sulaiman berkata: “Isteri yang baik bukan saja rahmat di dunia ini, tetapi juga di akhirat, kerana ia memberikan waktu senggang kepada suaminya untuk berpikir tentang akhirat.” Dan salah satu di antara ucapan Khalifah Umar adalah: “Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai isteri yang baik.”

Tambahan lagi, perkawinan masih memiliki keuntungan yang lain, yaitu bersikap sabar dengan sikap kewanitaan – memberikan kemahuan isteri dan menjaga mereka agar tetap berada di jalan hukum – adalah suatu bahagian yang amat penting dari agama. Nabi saw. bersabda; “Memberi nafkah kepada isteri lebih penting daripada memberi sedekah.”

Suatu kali, ketika Ibnu Mubarak sedang berpidato di hadapan orang-orang kafir, salah seorang sahabatnya bertanya kepadanya: “Adakah pekerjaan lain yang lebih memberikan ganjaran daripada jihad?” “Ya,” jawabnya, “Iaitu memberi makan dan pakaian kepada isteri dan anak dengan sepatutnya.” Waliyullah yang termasyhur Bisyr Hafi berkata: “Lebih baik bagi seseorang untuk bekerja bagi isteri dan anak daripada bagi dirinya sendiri.” Di dalam hadits diriwayatkan bahawa beberapa dosa hanya dapat ditebus dengan menanggung beban keluarga.

Berkenaan dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa isterinya meninggal dan ia tak bermaksud kahwin lagi meskipun orang-orang mendesaknya seraya berkata bahawa dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan pikirannya di dalam uzlah. Pada suatu malam ia melihat dalam mimpinya pintu surga terbuka dan sejumlah malaikat turun, lalu mendekatinya dan salah satu di antara mereka bertanya: “Inikah orang yang celaka yang egois itu?” dan rekan-rekannya menjawab: “Ya, inilah dia.” Wali itu sedemikian terperanjatnya sehingga tidak sempat bertanya tentang siapakah yang mereka maksud. Tetapi tiba-tiba seorang anak laki-laki datang dan ia pun bertanya kepadanya. “Andalah yang sedang mereka bicarakan,” jawab si anak, “baru minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat di syurga bersama dengan wali-wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah menghapuskan nama anda dari buku catatan itu.” Setelah terjaga dengan pikiran penuh tanda tanya, dia pun segera membuat rencana untuk kahwin. Dari semua hal di atas, nampak bahawa perkawinan memang diinginkan.

Sekarang akan kita bicarakan kerugian-kerugian perkawinan. Salah satu di antaranya adalah adanya suatu bahaya, khususnya di masa sekarang ini, bahawa seorang lelaki mesti mencari nafkah dengan sarana-sarana yang haram untuk menghidupi keluarganya, padahal tidak ada perbuatan-perbuatan baik yang bisa menebus dosa ini. Nabi saw. bersabda bahawa pada Hari Kebangkitan akan ada lelaki yang membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan menempatkannya di dekat Mizan. Kemudian ia ditanya; “Dengan cara bagaimana engkau menghidupi keluargamu?” Ia tak dapat memberikan jawapan yang memuaskan, maka semua perbuatan baiknya pun akan dihapuskan dan suatu pernyataan akan dikeluarkan berkenaan dengannya: “Inilah orang yang keluarganya telah menelan semua perbuatan baiknya!”

Kerugian lain dari perkahwinan adalah bahawa memperlakukan keluarga dengan baik dan sabar dan menyelesaikan masalah-masalah mereka hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tabiat baik. Ada bahaya besar jika seorang lelaki memperlakukan keluarganya dengan kasar atau mengabaikan mereka, sehingga menimbulkan dosa bagi dirinya sendiri. Nabi saw. bersabda: “Seseorang yang meninggalkan isteri dan anak-anaknya adalah seperti budak yang lari. Sebelum ia kembali kepada mereka, puasa dan solatnya tidak akan diterima oleh Allah.” Ringkasnya, manusia memiliki sifat-sifat rendah, dan sebelum ia bisa mengendalikan sifatnya itu, lebih baik ia tidak memikul tanggungjawab untuk mengendalikan orang lain. Seseorang bertanya kepada Wali Bisyr Hafi, kenapa ia tidak kahwin. “Saya takut,” ia menjawab, “akan ayat al-Qur’an: ‘hak-hak wanita atas lelaki adalah sama dengan hak-hak lelaki keatas wanita’.”

Kerugian ketiga dari perkawinan adalah bahawa mengurus sebuah keluarga seringkali menghalangi seseorang dari memusatkan perhatiannya kepada Allah dan akhirat. Dan boleh jadi, kecuali kalau ia berhati-hati, hal itu akan menyeretnya kepada kehancuran, kerana Allah telah berfirman: “Janganlah isteri-isteri dan anak-anakmu memalingkanmu dari mengingat Allah.” Orang yang berfikir, bahawa dengan tidak kahwin ia dapat memusatkan perhatiannya lebih baik pada kewajipan-kewajipan keagamaannya, lebih baik ia tetap sendirian; dan orang-orang yang takut untuk terjatuh ke dalam dosa jika ia tidak berkahwin, lebih baik ia berkahwin.

Sekarang kita sampai pada sifat-sifat yang mesti dicari dalam diri seorang isteri. Pertama, yang paling penting di antaranya, adalah kesucian akhlak. Jika seseorang mempunyai isteri yang berakhlak tidak-baik dan ia tetap diam, ia mendapatkan nama hodoh dan terhambat kehidupan keagamaannya. Jika ia angkat bicara, hidupnya menjadi rosak. Dan bila ia ceraikan isterinya, ia akan menderita kepedihan perpisahan. Seorang isteri yang cantik tapi berakhlak buruk adalah bencana yang sedemikian besar, sehingga lebih baik bagi suaminya untuk menceraikannya. Nabi saw. bersabda; “Orang yang mencari isteri demi kecantikannya atau kekayaannya akan kehilangan keduanya.”

Sifat baik kedua dalam diri seorang isteri adalah tabiat yang baik. Isteri yang bertabiat buruk – tidak berterima kasih, suka mengungkit-ungkit atau angkuh – membuat hidup tak tertanggungkan dan merupakan halangan besar untuk menjalin kehidupan takwa.

Sifat ketiga yang harus dicari adalah kecantikan, kerana hal ini akan menimbulkan cinta dan kasih sayang. Oleh kerana itu, seseorang mesti melihat seorang wanita sebelum mengahwininya. Nabi saw. bersabda; “Wanita-wanita dari suku ini dan itu memiliki cacat di mata-mata mereka. Seorang yang ingin mengahwini seseorang di antara mereka mesti melihatnya dulu.” Orang bijak berkata bahawa seseorang yang mengahwini seorang wanita tanpa melihatnya lebih dulu, pasti akan menyesal kelak. Memang benar bahawa seseorang tidak seharusnya kahwin demi kecantikan, tetapi hal ini tidak bererti bahawa kecantikan mesti dianggap tidak penting sama sekali.

Hal penting keempat tentang seorang isteri adalah bahawa besarnya mahar dibayarkan oleh seorang lelaki kepada isterinya mesti dalam jumlah pertengahan. Nabi saw. bersabda: “Wanita yang paling baik untuk diperisterikan adalah yang maharnya kecil dan nilai kecantikannya besar.” Beliau sendiri memberi mahar kepada beberapa calon isterinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar puteri-puteri beliau sendiri tidak lebih daripada empat ratus dirham.

Sifat-sifat lain yang harus dimiliki seorang isteri yang baik adalah: berasal dari keturunan baik-baik, belum kahwin sebelumnya dan tidak terlalu dekat dalam hubungan kekeluargaan dengan suaminya.

Hal-hal yang Harus Dikerjakan dalam Perkawinan :

Pertama; karena perkahwinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara lelaki dan wanita itu tidak lebih baik daripada pertemuan antara haiwan. Syariat memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap perkawinan. Ketika Abdurrahman bin ‘Auf merayakan perkahwinannya Nabi saw. berkata kepadanya: “Buatlah suatu majlis perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing.” Ketika Nabi saw. sendiri merayakan perkawinannya dengan Shafiyyah, beliau membuat majlis perkawinan dan menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkahwinan sebaiknya dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik, kerana manusia adalah mahkota penciptaan. Cuma,sebaiknya musik tersebut berbentuk musik keagamaan, bukan musik yang menyebabkan  kelalaian dan berlebih-lebihan.

Kedua; seorang suami istrei mesti terus bersikap baik terhadap isterinya. Hal ini tidak bererti bahawa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung dengan sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh isterinya, baik itu kerana ketidak-masukakalan sikap isterinya atau sikap tidak-berterimakasihnya. Wanita diciptakan lemah dan memerlukan perlindungan; kerenanya ia mesti diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw. bersabda: “Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan oleh isterinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya.” Pada saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi saw. bersabda: “Teruslah berdoa dan perlakukan isteri-isterimu dengan baik, kerana mereka adalah tawanan-tawananmu.” Beliau sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku isteri-isterinya. Suatu hari isteri Umar marah kepadanya, ia berkata kepadanya: “Hai kau yang berlidah tajam, berani kau menjawabku?” Isterinya menjawab, “Ya, penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan isteri-isterinya saja mendebatnya.” Ia menjawab: “Celakalah Hafshah (Purti Sayidina Umar, isteri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya sendiri.” Dan ketika ia berjumpa Hafshah, ia berkata, “Awas, kau jangan mendebat Rasul.” Nabi saw. juga berkata: “Yang terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri, dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap keluargaku.”

Ketiga; seorang suami isteri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan isterinya dan tidak mencuba menghalanginya. Nabi saw. sendiri pada suatu waktu pernah berlumba lari dengan istrinya, ‘Aisyah. Pada kali pertama Nabi saw. mengalahkan ‘Aisyah dan pada kali kedua, ‘Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain, beliau menggendong ‘Aisyah agar ia dapat melihat beberapa orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah untuk menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap isteri-isterinya seperti yang dilakukan Nabi saw. Orang-orang bijak berkata: “Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa yang tidak tersedia.” Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar isterinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh isterinya, ia tidak boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi sekadar bahan tertawaan saja. Dalam al-Qur’an tertulis: “Lelaki adalah pemimpin bagi wanita,” dan Nabi saw. berkata: “Celakalah lelaki yang menjadi budak isterinya.” Seharusnya isterinyalah yang menjadi pelayannya. Orang-orang bijak berkata; “Mengalahlah dengan wanita dan berbuatlah yang bertentangan dengan apa yang mereka nasihatkan.” Memang ada suatu sikap suka melawan dalam diri wanita; dan jika mereka diizinkan meskipun sedikit, mereka akan sama sekali lepas dari kendali dan sulitlah untuk mengembalikannya kepada sikap yang baik. Dalam urusan dengan mereka, seseorang mesti berusaha menggunakan gabungan antara ketegasan dan rasa kasih sayang dengan kasih sayang sebagai bahagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata: “Wanita diciptakan seperti sepotong tulang iga yang bengkok. Jika kau cuba meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau biarkan demikian, ia akan tetap bengkok. Karena itu perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang.”

Keempat; dalam hal pelanggaran susila, seorang suami harus sangat berhati-hati agar tidak membiarkan isterinya dipandang atau memandang seorang asing, kerana awal dari seluruh kerosakan itu adalah dari mata. Seboleh-bolehnya jangan izinkan ia untuk keluar rumah, berdiri di loteng rumah atau berdiri di pintu. Meskipun demikian, anda mesti hati-hati agar tidak cemburu tanpa alasan dan bersikap terlalu ketat. Suatu hari Nabi saw. bertanya kepada anaknya, Fathimah: “Apakah yang terbaik bagi wanita?” Ia menjawab: “Mereka tidak boleh menemui orang-orang asing, tidak pula orang-orang asing boleh menemui mereka.” Nabi saw. senang mendengar jawapan ini dan memeluknya seraya berkata; “Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari hatiku.” Amirul Mu’minin Umar berkata: “Jangan memberi wanita pakaian-pakaian yang baik, kerana segera setelah mereka mengenakannya mereka berkeinginan untuk keluar rumah.” Pada masa hidup Nabi, wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara bertahap hal ini dilarang.

Kelima; seorang suami mesti memberi nafkah secukupnya kepada isterinya dan tidak bersifat kedekut kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada isteri lebih baik daripada memberi sedekah. Nabi saw. bersabda: “Misalkan seorang laki-laki menghabiskan satu dinar untuk berjihad, satu dinar lagi untuk menebus seorang budak, satu dinar lagi untuk sedekah dan memberikan satu dinar juga kepada isterinya, maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi jumlah pahala ketiga pemberian lainnya.”

Keenam; seorang suami tidak boleh makan sesuatu yang lazat bersendirian; atau walaupun ia telah memakannya, ia mesti diam dan tidak memujinya di depan isterinya. Jika tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami isteri untuk makan bersama, kerana Nabi saw. bersabda: “Jika mereka melakukan hal itu, Allah menurunkan rahmatNya atas mereka dan para malaikat pun berdoa untuk mereka.” Hal yang paling penting adalah bahawa nafkah yang diberikan kepada isteri itu harus didapatkan dengan cara-cara halal.

Jika isteri bersikap memberontak dan tidak taat, pertama sekali suami mesti menasihatinya dengan lemah lembut. Jika hal ini tidak cukup keduanya mesti tidur di bilik terpisah untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil, maka suami boleh memukulnya, tetapi tidak di mulutnya, tidak pula terlalu keras hingga melukainya. Jika isteri lalai dalam tugas-tugas keagamaannya, suami mesti menunjukkan sikap tidak senang kepadanya selama sebulan penuh, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada isteri-isterinya.

Selalulah bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; kerana, meskipun perceraian diizinkan, Allah tidak menyukainya. Perkataan cerai saja sudah mengakibatkan penderitaan bagi seseorang wanita, dan bagaimana dapat dibenarkan seseorang menyakiti orang lain? Jika perceraian terpaksa sekali dilakukan, maka ucapan itu tidak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi harus pada tiga waktu yang berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai baik-baik, tidak dengan kemarahan ataupun penghinaan, tidak pula tanpa alasan. Setelah perceraian, seorang lelaki mesti tidak menceritakan kepada orang lain alasan-alasan atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan isterinya sehingga mereka bercerai. Dari seorang suami yang hendak menceraikan isterinya, diriwayatkan bahawa orang-orang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menceraikannya?” Ia menjawab: “Saya tak akan membongkar rahsia-rahsia isteri saya.” Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan berkata; “Dia sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan dengan soal-soal peribadinya.” Moga tidak terjadinya penceraian antara suami dan isteri.

Sejauh ini telah kita membahas hak-hak isteri atas suaminya, tetapi hak-hak suami atas istrinya lebih mengikat lagi. Nabi saw. bersabda: “Jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan aku perintahkan agar para isteri menyembah suami-suami mereka.”

Seorang isteri tidak boleh menggembar-gemborkan kecantikannya di depan suaminya, tidak boleh membalas kebaikan si suami dengan perasaan tidak terima kasih. Isteri tidak boleh berkata kepada suaminya: “Kenapa kau perlakukan aku begini dan begitu?” Nabi saw. bersabda: “Aku melihat ke dalam neraka dan melihat banyak wanita di sana. Kutanyakan sebab-sebabnya dan mendapat jawapan, kerana mereka berlaku tidak baik kepada suami-suami mereka dan tidak berterima kasih kepadanya.”

Terjemahan Kimia Saadah karangan al Imam Ghazali oleh Tok Pake

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Makluman Kepada Para Pengunjung :

Sekiranya terdapat apa-apa kesalahan perkataan dan fakta di dalam artikel blog ini, dan terdapat mana-mana artikel saya yang menyinggung perasaan anda, maka saya terlebih dahulu memohon maaf di atas perkara tersebut.

Anda boleh memberi komen yang membina, teguran yang berhemah dan cadangan atau pendapat yang bernas terhadap mana-mana artikel di dalam blog ini.

Sebarang kata-kata kesat, menyimpang, lucah dan kata-kata yang bagi pendapat saya boleh menjatuhkan nama baik Islam akan di ban/delete dan tidak akan dilayan sama sekali.

Anda boleh menghantar artikel-artikel anda, iklan-iklan serta jaringan blog anda untuk di siarkan di dalam blog ini, dengan syarat ianya akan ditapis terlebih dahulu oleh admin blog ini.

Sebarang masalah atau apa-apa yang berkenaan diatas boleh dihantar terus ke email admin iaitu :
firdaus_hadi90@yahoo.com

atau boleh melayari facebook admin di bawah :




Ikhwani Fillah

Al Lauhah Ar Raie'ah

Lalu Lintas Pengunjung

Jumlah Bukaan